Setelah Rasulullah saw. wafat, Islam menyebar dalam spektrum yang
luas. Tiga benua lama -Asia, Afrika, dan Eropa-pernah merasakan rahmat dan
keadilan dalam naungan pemerintahan Islam. Tidak terkecuali Spanyol
(Andalusia) dan Perancis. Ini negeri di daratan Eropa yang pertama kali masuk dalam pelukan
Islam di zaman Pemerintahan Kekhalifahan Bani Umaiyah.
Fokus novel ini akan menceritakan Abdurrahman al-Gafiqi.
Perjalanan hidupnya dikemas dalam Novel Sejarah Fiksi, namun tetap menjaga
kemurniaan alur cerita sejarah dan menjaga sosok pribadinya.
Selamat membaca.
DESKRIPSI BUKU
Penulis : CHEN
Halaman : 200
Cover : Softcover
HARGA JUAL
Harga Rp.55.000
SINOPSIS BUKU
Judul:
732
The Last Knight
Dikota Andalus
hiduplah seorang pemuda yang sangat shaleh dan berilmu. Dia memiliki wawasan
begitu luas dan pikirannya terbuka untuk banyak hal. Dia seorang generasi
tabi’in dan pernah berguru kepada sahabat Rasulullah, Umar bin Khatab r.a.
Beliau bernama Abdurrahman al-Gafiqi.
Selama hidupnya hanya
dipersembahkan untuk Islam dan kaum muslimin. Kepemimpinannya baik dan adil membuatnya disukai bawahan
yang dipimpin. Dalam membagi pampasan perang, ia lebih mendahulukan kepentingan
anggota pasukan daripada kepentingan sendiri. Ia juga pemimpin saleh.
Ia sangat waspada terhadap potensi
konflik internal dan pemberontakan di Andalusia serta terhadap
kemungkinan ancaman dari Utara. Karena itu, ia segera mengirim pasukan ke Utara
menyeberangi pegunungan Pyrenees untuk memerangi salah satu gubernurnya di
Perancis Selatan, Uthman ibn Abi Nis’ah, yang menentang kepemimpinannya dan
bersekutu dengan penguasa Kristen di wilayah itu, yaitu Eudo, Duke of
Acquitaine.
Pasukan yang dikirim al-Ghafiqi
berhasil menumpas perlawanan Ibn Abi Nis’ah. Al-ghafiqi sendiri kemudian
menyusul ke Utara dengan pasukan yang kuat untuk menghadapi ancaman Duke Eudo
dan pasukannya. Al-Ghafiqi memasuki wilayah Perancis di musim semi 732M (114H),
kurang lebih satu tahun setelah diangkat menjadi Wali Andalusia. Satu persatu
wilayah Acquitaine diduduki pasukannya. Eudo berusaha menahan pasukan
al-Ghafiqi di tepi Sungai Dordogne. Namun dalam pertempuran ini Eudo menderita
kekalahan telak dan banyak anggota pasukannya mati di pertempuran itu.
Al-Ghafiqi mengejar Eudo hingga ke ibukota kerajaannya di Burdal, Bordeaux,
yang segera takluk setelah pengepungan singkat.
Seluruh Acquitaine kemudian jatuh ke
tangan Muslim. Sementara Eudo sendiri melarikan diri ke Utara, pasukan Muslim
mulai memasuki wilayah Burgundi dan menaklukkan kota-kota seperti Lyon dan
Besancon.
Sebagian pasukan Muslim bahkan
berhasil mencapai Sens yang terletak hanya seratus mil saja dari Paris. Pasukan
al-Ghafiqi kemudian bergerak ke arah Barat hingga ke tepi Sungai Loire. Dari
sana mereka bersiap untuk ke Utara menuju pusat Kerajaan Frank (Perancis).
Kerajaan Frank ketika itu dalam masa
transisi antara Dinasti Merovingian dan Dinasti Carolingian. Walaupun secara
resmi masih dipimpin oleh seorang raja Merovingian yang sudah tidak memiliki
kekuasaan riil, tapi secara efektif dikendalikan Charles Martel.
Kerajaan Frank pada masa itu, dan pada abad-abad setelahnya, dapat dikatakan
sebagai kerajaan terkuat di Eropa Barat dan sekutu paling setia dari kepausan
Katholik Roma. Begitu melihat gerakan pasukan Islam semakin berbahaya, Charles
Martel menghimpun pasukannya. Eudo sendiri, yang merupakan saingan Charles
Martel dan selalu berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat, kini datang
meminta bantuan pada Charles Martel. Charles menyetujuinya dengan syarat Eudo
harus loyal kepadanya.
Sementara itu, Pasukan Muslim telah
mencapai daerah diantara Poitiers dan Tours. Mereka menyerang dan menguasai
kedua kota itu. Tidak lama setelah itu, di wilayah antara Poitiers dan Tours,
pasukan Muslim mulai berhadapan dengan pasukan Frank yang dipimpin oleh Charles
Martel. Laporan tentang jumlah pasukan Muslim beragam, 20.000. Sementara jumlah
pasukan Frank lebih besar. Pasukan Frank kebanyakannya merupakan pasukan irregular,
nyaris telanjang, dengan rambut ikal tergerai hingga ke bahu, serta mengenakan
kulit serigala.
Pasukan yang dibawa al-Ghafiqi saat
itu merupakan pasukan terkuat dan terbesar yang pernah dibawa ke Perancis.
Namun jumlahnya sudah agak berkurang setelah melalui berbagai pertempuran. Pada
saat itu mereka juga menghadapi ujian serius: harta! Sepanjang penaklukan
berbagai kota di Perancis, pasukan Muslim berhasil mengumpulkan banyak pampasan
perang. Harta itu bisa menjadi kekuatan ekonomi bagi Muslim selepas perang.
Tapi masalahnya perang belum selesai. Dan kini mereka justru sedang dihadapkan
dengan kekuatan inti lawan.
Al-Ghafiqi mulai mencemaskan
keberadaan pampasan perang yang ada di tangan pasukannya. Ia khawatir perhatian
pasukannya terpecah antara menghadapi musuh dan menjaga harta pampasan agar
tidak jatuh ke tangan musuh. Ia meminta agar sebagian pampasan itu ditinggalkan
saja, tapi ia tak mampu memaksakan hal ini karena, khawatir anggota pasukan
akan menentangnya di saat yang cukup genting tersebut.
Kedua pasukan tidak langsung
bertempur. Mereka saling mengawasi selama kurang lebih seminggu. Kesempatan ini
digunakan oleh pasukan Muslim untuk mengamankan harta yang telah mereka
kumpulkan agak jauh ke Selatan. Akhirnya pertempuran bermula pada tanggal 12
atau 13 Oktober 732 (Sha’ban 114). Selama 7-8 hari berikutnya kedua pasukan
terlibat pertempuran kecil. Hari ke-9 mereka memasuki pertempuran besar
melibatkan seluruh pasukan hingga malam tanpa ada pihak yang menang.
Pada hari kesepuluh kedua belah pihak
saling menyerang lebih keras lagi. Kubu Perancis memperlihatkan strategi
pertahanan yang kokoh dan menyulitkan kaum Muslimin untuk menyerang. Enan
menyebutkan bahwa pasukan Perancis pada akhirnya mulai kelelahan dan
tanda-tanda kemenangan mulai berpihak kepada pasukan Muslim. Tapi sayangnya
banyak di antara anggota pasukan Muslim yang terlalu khawatir akan jatuhnya
pampasan perang ke tangan musuh. Sehingga ketika mereka mendengar seruan dari
tempat penjagaan harta bahwa musuh mulai melakukan penetrasi ke tempat itu,
konsentrasi pasukan Muslim menjadi terpecah. Banyak di antara mereka yang
meninggalkan tempatnya dan menuju tempat harta pampasan perang berada. Hal ini
menimbulkan kekacauan di dalam barisan Muslim dan membuka peluang bagi musuh.
Al-Ghafiqi berusaha mengembalikan
pasukannya pada posisi semula. Tapi terlambat. Dalam keadaan yang tidak
menentu, ia terkena anak panah musuh. Ia terjatuh dari kudanya dan mati syahid.
Keadaan semakin kacau dan musuh berhasil mendesak pasukan Muslim. Walaupun mendapat
pukulan bertubi-tubi dan banyak korban gugur, kaum Muslimin masih bisa
mempertahankan posisinya hingga pertempuran dihentikan pada hari itu. Kedua
belah pihak kembali ke posisi masing-masing dan bersiap-siap menyongsong
pertempuran baru keesokan harinya. Namun pasukan Muslim tidak bersiap
menyongsong pertempuran baru. Mereka menyadari kekalahan dan pemimpin mereka
sudah gugur. Secara diam-diam mereka mundur pada malam harinya,
meninggalkan semua pampasan perang yang sejak awal berusaha mereka jaga.
Esok paginya pasukan Frank heran
dengan kesunyian di kubu Muslim. Mereka pun menyadari bahwa lawan mereka sudah
pergi meninggalkan pertempuran. Charles Martel dan pasukannya merasa cukup
dengan hasil pertempuran itu dan tidak merasa perlu untuk mengejar pasukan
Muslim. Mereka mengambil harta rampasan perang yang ditinggalkan pasukan Muslim
dan kembali pulang .